Sejalandengan berkembangnya hubungan kedua Negara masuk pula agama dan kebudayaan India ke Indonesia seperti agama hindu, budha, bahasa sansekerta, huruf palawa dan nama-nama berakhiran warama. PENGARUH PERKEMBANGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA TERHADAP MASYARAKAT DI BERBAGAI DAERAH DI INDONESIA Masuknya pengaruh india ke Indonesia Perkembangan Kebudayaan Masa Hindu-Buddha .... 77 4 Gatotkacasraya, dikarang oleh Mpu Panuluh. Isinya menceritakan perkawinan Abimanyu, putra Arjuna, dengan Siti Sundari atas bantuan Gatotkaca, putra Bima. Cerita ini ditulis pada zaman pemerintahan Jayabaya. Dalam kitab inilah pertama kalinya muncul dewa-dewa asli Jawa yang disebut Punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang berperan besar dalam penyelamatan tokoh yang dilindunginya. Punakawan ini selalu mengiringi Arjuna. Punakawan lainnya adalah Jurudyah Prasanta dan Punta, keduanya mengiringi Abimanyu. 5 Bhomakarya, pengarangnya tidak jelas. 6 Smaradhahana, dikarang oleh Mpu Dharmaja. Kitab ini mengisahkan hilangnya suami istri, Dewa Kama dan Dewi Ratih, karena api yang keluar dari mata ketiga Dewa Syiwa. Kama dan Ratih menjadi manusia dan mengembara di dunia untuk menggoda manusia. Kitab ini dibuat pada masa pemerintahan Kameswara. Dalam kitab Smaradhahana, Kameswara dianggap sebagai titisan Dewa Kama. Istri Kameswara yang bernama Sri Kirana, putri dari Kerajaan Jenggala yang cantik, dianggap sebagai titisan Dewi Ratih. Dalam kesusastraan Jawa, Kameswara disebut sebagai Panji Asmoro Bangun, Panji Inu Kertapati, atau Panji Kudawanegpati. Adapun Sri Kirana disebut sebagai Candhrakirana. Hubungan antara kedua sejoli itu menjadi dasar cerita ini. 7 Wrttassancaya dan Lubdhaka, dikarang oleh Mpu Tanakung. 8 Kitab sastra Ling Wai Taita, disusun oleh Chou Ku Fei. Kitab ini merupakan tulisan dari negeri Cina yang disusun oleh Chou Ku Fei yang berisi mengenai gambaran kehidupan, tata pemerintahan, dan keadaan istana atau benteng pada masa Kerajaan Kediri. Selain itu, diceritakan pula kondisi kemakmuran negara. Raja memakai sepatu yang terbuat dari kulit, perhiasan emas, pakaian sutra, serta menunggang gajah atau kereta. Kitab ini juga menceritakan adanya pesta air laut dan perayaan di gunung bagi rakyat. 9 Kitab Chu Fang Chi, ditulis oleh Chan Ju Kua dalam bahasa Cina pada abad ke-13 yang menceritakan bahwa di Asia Tenggara tumbuh dua kerajaan besar dan kaya, yaitu Jawa dan Sriwijaya. Kitab ini juga menceritakan keadaan tanah jajahan dan sifat rakyat kedua negara tersebut. 3. Keadaan budaya pada masa Kerajaan Singasari Pada masa Kerajaan Singasari, kebudayaan lebih banyak bersifat fisik. Peninggalan- peninggalan yang ditemukan umumnya berupa candi dan patung. Candi-candi tersebut adalah candi Kidal, candi Jago, dan candi Singasari. Adapun patung-patung yang ditemukan adalah patung Ken Dedes yang diwujudkan dalam wujud Prajnaparamita lambang kesempurnaan ilmu, patung Kertanegara dalam wujud Joko Dolog yang ditemukan dekat Surabaya, dan patung Amoghapasha yang merupakan perwujudan Kertanegara yang dikirim ke Darmasraya ibu kota Kerajaan Melayu. Patung Amoghapasha sekarang dapat dilihat di Museum Nasional Museum Gajah Jakarta. Kedua patung perwujudan Kertanegara, baik Joko Dolog maupun Amoghapasha, menunjukkan bahwa Raja Kertanegara menganut agama Buddha beraliran Tantrayana tantrisme. Di unduh dari 78 Cakrawala Sejarah SMAMA Kelas XI Bahasa 4. Keadaan budaya dan kemajuan sastra pada masa Kerajaan Majapahit a. Kehidupan kebudayaan Perkembangan kebudayaan di Kerajaan Majapahit dapat diketahui dari peninggalan- peninggalan berupa candi. Candi-candi peninggalan Kerajaan Majapahit, antara lain, candi Panataran di Blitar, candi Tegalwangi dan Suranana di Pare Kediri, candi Sawentar di Blitar, candi Sumber Jati di Blitar, candi Tikus di Trowulan, dan pintu gerbang Trowulan di Mojokerto. b. Kehidupan sastra Zaman Majapahit menghasilkan banyak karya sastra. Periodisasi sastra masa Majapahit dibedakan menjadi dua, yaitu sastra zaman Majapahit awal dan sastra zaman Majapahit akhir. 1 Zaman Majapahit awal Karya sastra zaman Majapahit awal adalah kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca 1365, kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Tantular, kitab Kutaramanawa karangan Gajah Mada, kitab Kunjarakarna anonim, dan kitab Prathayajna anonim. a Kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca ditulis pada tahun 1365, yaitu pada zaman Raja Hayam Wuruk. Kitab ini sangat penting untuk menge- tahui keadaan Kerajaan Singasari pada zaman Ken Arok sampai zaman pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit. Negarakertagama merupakan catatan sejarah yang menguraikan secara terperinci kota Majapahit, wilayah jajahan, candi-candi, dan perja- lanan Hayam Wuruk ke hampir seluruh wilayah Jawa Timur. Di dalamnya juga ditulis mengenai tata pemerintahan, ibu kota, agama, serta upacara Sraddha upacara menghormati roh nenek moyang dengan mendatangi tempat-tempat leluhur yang dilakukan oleh Hayam Wuruk untuk menghormati roh nenek moyangnya, serta untuk penghormatan kepada nenek Gayatri. b Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular menceritakan Sutasoma, putra raja yang meninggalkan keduniawian dan mendalami agama Buddha. Ia rela mengorbankan diri demi keselamatan sesama. Bahkan seorang raksasa yang gemar makan manusia telah diinsafkan menjadi pemeluk agama Buddha. Dalam kitab ini, terdapat kalimat Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, yang artinya tidak ada agama yang mendua, melainkan satu, yakni Hindu- Buddha. Sumber Indonesia Indah, Aksara Gambar Prasasti Negarakertagama peninggalan Singasari di tahun 1273 Saka Di unduh dari Perkembangan Kebudayaan Masa Hindu-Buddha .... 79 c Kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Tantular menceritakan kisah Raja Arjunasasrabahu dan Patih Sumantri melawan raksasa Rahwana. d Kitab Kutaramanawa, ditulis oleh Gajah Mada. Kitab hukum ini disusun berdasarkan kitab hukum yang lebih tua, yakni Kutarasastra dan kitab hukum Manawasastra , yang kemudian disesuaikan dengan hukum adat pada masa itu. e Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui nama pengarangnya. f Kitab Parthayajna, tidak diketahui pengarangnya. 2 Zaman Majapahit akhir Karya sastra zaman Majapahit akhir ditulis dengan bahasa Jawa dalam bentuk tembang kidung dan gancaran prosa. Karya-karya sastra pada zaman ini adalah kitab Pararaton yang berisi tentang riwayat raja-raja Majapahit, kitab Sundayana berisi tentang Peristiwa Bubat, kitab Sorandaka menceritakan tentang Pemberontakan Sora di Lumajang, kitab Ranggalawe tentang Pemberontakan Ranggalawe dari Tuban, kitab Panji Wijayakrama berisi tentang riwayat Raden Wijaya, kitab Usana Jawa menceritakan tentang penaklukkan Bali oleh Gajah Mada, kitab Usana Bali mengisahkan tentang kekacauan Bali akibat keganasan Maya Danawa, kitab Pamancangah , kitab Panggelaran, kitab Calon Arang, kitab Korawasrama, Carita Parahyangan, Babhuksah, Tantri Kamandaka, dan Pancatantra. Berikut karya-karya sastra yang terpenting. a Kitab Pararaton menceritakan riwayat raja-raja Singasari dan Majapahit. Karena kitab ini terlalu banyak mengandung mitos, kebenaran isinya sekarang sering kali diabaikan. Sampai sekarang, pengarang kitab ini belum diketahui sehingga dianggap anonim. Kitab ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi riwayat Ken Arok dari lahir sampai menjadi raja, sedangkan bagian kedua berisi kisah sejarah Kerajaan Majapahit mulai dari Raden Wijaya, Jayanegara, pemberontakan Ronggolawe dan Sora, Perang Bubat, dan daftar nama raja-raja sesudah Hayam Wuruk. b Kitab Sundayana menceritakan Peristiwa Bubat. Penulisnya tidak dikenal. Kitab ini menceritakan tentang Perang Bubat antara Majapahit dan Pajajaran di Lapangan Bubat, Majapahit. Perang tersebut terjadi sewaktu Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja datang ke Majapahit untuk mengantarkan putrinya Dyah Pitaloka yang dipersunting Hayam Wuruk. Namun, setelah rombongan menginap di Bubat, Hayam Wuruk yang semula berniat mengambil Dyah Pitaloka sebagai permaisuri mengubah rencananya. Akibat pengaruh Gajah Mada, Hayam Wuruk hanya akan menjadikan Dyah Pitaloka sebagai selir. Hal ini mengundang kemarahaan Sri Baduga Maharaja dan terjadilah Perang Bubat. Sumber Indonesia Indah, Aksara Gambar Kitab Walandit, telah menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuno, ditemukan di Tengger, Jawa Timur Di unduh dari 80 Cakrawala Sejarah SMAMA Kelas XI Bahasa c Kitab Tantu Panggelaran tidak diketahui pengarangnya. Kitab ini menceritakan Batara Guru menugasi para dewa untuk mengisi Pulau Jawa dengan penduduk. Namun, pulau itu guncang sehingga para dewa kemudian memindahkan Gunung Mahameru di India ke Jawa. Dalam proses pemindahannya, beberapa bagian tercecer sepanjang Pulau Jawa sehingga menjadi deretan gunung. Akibatnya Gunung Mahameru diletakkan di ujung timur Pulau Jawa dengan nama Semeru, kemudian Dewa Wisnu menjadi raja pertama di pulau itu. d Kitab Sorandaka menceritakan Pemberontakan Sora kepada Raja Jayanegara karena tersinggung atas sikap raja yang akan mengambil istrinya. e Kitab Ranggalawe menceritakan Pemberontakan Ranggalawe terhadap Raja Majapahit pada masa Raden Wijaya karena menginginkan jabatan sebagai patih di Majapahit. f Kitab Calon Arang menceritakan seorang janda bernama Calon Arang dari desa Girah yang mempunyai anak bernama Ratna Manggali. Ratna Manggali sangat cantik, tetapi belum ada seorang pemuda pun yang melamarnya menjadi istri. Hal ini membuat gusar Calon Arang. Dengan ilmu hitamnya, ia menyebarkan tenung ke seluruh negeri Airlangga. Raja Airlangga kemudian meminta Bharada untuk mengatasi hal ini dengan mengawinkan muridnya, Mpu Bahula dengan Ratna Manggali. Mpu Bahula berhasil menemukan buku sakti Calon Arang dan meng- ambilnya. Akibatnya dalam pertarungan selanjutnya, Calon Arang dikalahkan. g Kitab Panjiwijayakrama menguraikan riwayat Raden Wijaya sampai menjadi raja. h Kitab Usana Jawa berisi penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar, pemindahan Kerajaan Majapahit ke Gelgel, dan penumpasan Raja Raksasa Maya Denawa. i Kitab Usana Bali berisi tentang kekacauan di Pulau Bali akibat keganasan Maya Denawa yang akhirnya dibunuh oleh dewa. j Kitab Pamancangah menceritakan para dewa agung, nenek moyang raja Kerajaan Gelgel di Bali. k Kitab Carita Parahyangan berbahasa Sunda, ditulis akhir abad ke-16, berisi kisah raja-raja Sunda sejak zaman Mataram. Kitab ini menyebut-nyebut Sanjaya, raja Mataram pertama yang merupakan anak Raja Sanna, raja Kerajaan Galuh. Sewaktu terjadi pemberontakan oleh Rahyang Purbasora, Raja Sanna beserta keluarga dibuang ke kaki Gunung Merapi. Akhirnya, Sanjaya berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora dan mengangkat dirinya sebagai raja. Kitab ini juga menceritakan kisah Perang Bubat. 5. Keadaan budaya dan kemajuan sastra pada masa Kerajaan Bali a. Kehidupan kebudayaan Ketika Kerajaan Bali diperintah oleh Raja Anak Wungsu, kemajuan kesenian dapat dibedakan menjadi kelompok seni keraton dan seni rakyat. Pertunjukan kesenian rakyat biasanya dilakukan berkeliling untuk menghibur rakyat. Namun, ada kalanya pula kesenian keraton ditujukan bagi masyarakat pedesaan. Hal ini dimuat dalam Di unduh dari Perkembangan Kebudayaan Masa Hindu-Buddha .... 81 Inskripsi Dalam kepercayaan Hindu-Majapahit, dikenal adanya Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Wenang adalah dewa tertinggi dalam kepercayaan Hindu-Majapahit yang kedudukannya lebih tinggi dari Dewa Syiwa prasasti Julah yang berangka tahun 987 M yang menyebutkan adanya rombongan seni batik i Haji untuk raja maupun ambaran keliling yang datang ke desa Julah. Sangat sulit untuk mengetahui berapa jumlah pemain, namun mereka mendapat upah untuk kemampuan seni. Istilahnya patulak. Patulak untuk Agending i Haji yang datang ke desa Julah sebesar satu masaka mata uang saat itu, sedangkan untuk Agending Ambaran sebesar dua kupang. Jenis-jenis kesenian yang berkembang pada masa itu, antara lain, 1 patapukan seni topeng, 4 pamukul penabuh gemelan, 2 perwayang permainan wayang, 5 abanwal permainan badut, dan 3 bhangin peniup suling, 6 abonjing seni musik angklung. Kehidupan masyarakat di Bali dan kebudayaannya sangat lekat terpengaruh oleh agama Hindu. Agama Hindu yang berkembang di Bali ini sudah bercampur dengan unsur budaya asli. Salah satu contoh yang paling nyata dapat dilihat adalah bahwa dewa tertinggi dalam agama Hindu-Buddha bukanlah Syiwa, melainkan Sang Hyang Widhi yang sama kedudukannya dengan Sang Hyang Wenang di Jawa. Sebagai tempat suci, dahulu digunakan candi. Tetapi, sejak berdirinya Kerajaan Gelgel dan Klungkung, penggunaan candi sebagai tempat suci dihapus. Sebagai pengganti fungsi candi dibuatkan kuil berupa kompleks bangunan yang sering disebut pura. Pada waktu upacara, dewa atau roh yang dipuja diturunkan dari surga dan ditempatkan pada kuil untuk diberi sesaji sebagai penghormatan. Upacara itu, misalnya diadakan pada hari Kuningan hari turunnya dewa dan pahlawan, pada hari Galungan menjelang Tahra dan Saka, dan hari Saraswati pelindung kesusastraan. Pura dalam lingkungan kerajaan disebut Pura Dalem, bentuknya seperti candi Bentar dan dimaksudkan sebagai kuil kema- tian. Adapun untuk keluarga raja di- buatkan pura khusus yang disebut Sanggah atau Merajan. Di Bali, dewa tidak dipatungkan. Patung-patung di Bali hanya berfungsi sebagai hiasan. Adanya patung dewa di Bali diyakini sebagai bukti adanya pengaruh Jawa. Di dalam kuil dibuatkan tempat tertentu yang disediakan untuk tempat turunnya dewa atau roh nenek moyang yang telah menjalani prosesi ngaben. Ngaben adalah budaya pembakaran mayat atau tulang surga. Pembakaran mayat adalah suatu kebiasaan di India yang diadaptasi di Bali. Roh yang telah menjalai upacara ngaben dianggap telah suci. Ida Sang Hyang Widhi sebagai dewa tertinggi tidak dibuatkan pura khusus, namun pada setiap kuil dibuatkan bangunan suci untuknya berbentuk Padmasana atau meru beratap dua. Di unduh dari 82 Cakrawala Sejarah SMAMA Kelas XI Bahasa Masyarakat Bali mengenal pembagian golongan atau kasta yang terdiri dari brahmana, ksatria, dan waisya. Ketiga kasta tersebut dikenal dengan Triwangsa. Di luar ketiga golongan tersebut masih ada lagi golongan yang disebut Jaba, yaitu anggota masyarakat yang tidak memegang pemerintahan. Tiap-tiap golongan mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak sama dalam bidang keagamaan. b. Kehidupan sastra Masa pemerintahan Jayasaksi menghasilkan kitab undang-undang, yaitu kitab Usana Widhi Balaman dan Rajarana. Kitab ini juga dipakai pada masa pemerintahan Ratu Sakalendukirana dan penerusnya. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan, diketahui bahwa pada masa pemerintahan Jayasaksi, agama Buddha dan Syiwa berkembang dengan baik. Aliran Waisnawa juga berkembang pada waktu itu. Raja Jayasaksi sendiri disebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. 6. Keadaan budaya dan kemajuan sastra pada masa Kerajaan Pajajaran Kehidupan masyarakat Kerajaan Sunda dapat digolongkan menjadi seniman pemain gamelan, pemain wayang, penari, dan badut, petani, pedagang, dan sebagainya. Mata pencaharian masyarakat Sunda yang utama adalah pertanian dan perdagangan. Bukti dan petunjuk mengenai masyarakat perladangan dapat kita temukan dalam kitab Sastra Parahyangan yang menyebut-nyebut sawah di dalamnya. Kitab Sanghyang Siksakanda juga menyebutkan tentang pengaruh yang merupakan pekerjaan utama masyarakat. Alat- alat yang dipergunakan di ladang adalah beliung, kored, dan sadap. Selain kitab-kitab sastra tersebut, ada pula kitab cerita Kidung Sundayana. Kitab ini menceritakan kekalahan pasukan Pajajaran dalam pertempuran di Bubat dan gugurnya Sri Baduga Maharaja beserta putrinya, Dyah Pitaloka. Kerajaan Sunda atau Pajajaran, seperti halnya Majapahit, juga mengenal kitab Carita Parahyangan. Kitab ini menceritakan bahwa pengganti Raja Sri Baduga Maharaja setelah Perang Bubat adalah Hyang Bhumi Sora. Kesusastraan masa Pajajaran menunjukkan pengaruh Hindu yang sangat kuat di kerajaan tersebut. Pengaruh Hindu ini telah tertanam sejak zaman Tarumanegara abad ke-5 M. Hal ini dibuktikan dengan adanya arca Rajansi dan arca-arca lainnya yang ditemukan di daerah Cibuaya dari abad ke-8 dan 9 M. Diskusi Apakah contoh karya sastra masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang masih dikenal luas di daerah Anda? Bersama teman kelompok, cobalah mengupas kembali isi cerita tersebut dan buatlah susunan ceritanya pada kertas folio. Perbandingkan hasilnya dengan teman-teman dari kelompok lain, lalu buatlah kesimpulan Di unduh dari Perkembangan Kebudayaan Masa Hindu-Buddha .... 83 Inskripsi Salah satu hasil budaya Islam yang cukup terkenal dan sampai sekarang masih tetap berdiri adalah masjid Demak. Masjid ini merupakan lambang kebesaran Demak sebagai kerajaan yang bercorak Islam. Masjid Demak selain kaya dengan ukir-ukiran yang bercirikan Islam juga memiliki keistimewaan, yaitu salah satu tiangnya dibuat dari pecahan-pecahan kayu tatal. C. Perkembangan Tradisi Islam di Berbagai Daerah dari Abad ke-15 sampai ke-18 1. Pengaruh Islam pada bidang arsitektur Pada masa sebelum datangnya Islam, pusat-pusat pemerintahan kerajaan di Indonesia umumnya memiliki tanah lapang yang luas alun-alun. Di empat penjuru tanah lapang itu terdapat bangunan-bangunan penting, seperti keraton, tempat pemujaan, dan pasar. Jika dilihat dari sudut arsitektur, masjid kuno beratap tingkat meru misalnya beratap dua yaitu masjid Agung Cirebon, masjid Katangka di Sulawesi, masjid Muara Angke, Tambora dan Marunda di Jakarta, masjid beratap tiga yaitu, masjid Demak, Baiturrahman Aceh, masjid Jepara; masjid beratap lima yaitu, masjid Agung Banten. Masjid kuno Indonesia yang mempunyai atap bertingkat telah mengundang pendapat beberapa ahli yang mengatakan bahwa hal itu merupakan kelanjutan dari seni bangunan tradisional Indonesia lama. Ada beberapa bukti yang mendukung pendapat itu, di antaranya sebagai berikut. a. Bangunan-bangunan Hindu di Bali yang disebut Wantilan atapnya juga bertingkat. b. Relief yang ada di candi-candi pada masa Majapahit juga terdapat ukiran yang meng- gambarkan bangunan atap bertingkat. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa telah terjadi akulturasi antara seni bangun tradisional Indonesia dengan seni bangun Islam. Dalam seni ukir dan lukis terjadi akulturasi antara seni ukir dan seni lukis Islam dengan seni lukis dan seni ukir tradisional Indonesia yang dapat kita jumpai pada bangunan masjid-masjid kuno dan keraton. Ukir- ukiran yang biasa dipahatkan pada tiang-tiang, tembok, atap, mihrab, dan mimbarnya dibuat dengan pola makara dan teratai. 2. Pengaruh Islam pada bidang kesenian a. Seni tari dan musik Di beberapa daerah ada jenis tarian yang berhubungan dengan nyanyian atau pembacaan tertentu yang berupa selawat atau slawat kompang. Bentuk-bentuk tarian itu, misalnya, permainan debus dan seudati. Permainan dabus adalah suatu jenis tarian atau pertunjukan kekebalan terhadap senjata tajam dengan cara menusukkan benda tajam tersebut pada tubuhnya. Tarian ini diawali dengan nyanyian atau pembacaan Alquran atau selawat nabi. Permainan ini berkembang di bekas-bekas pusat kerajaan seperti Banten, Minangkabau, Aceh. Adapun seudati adalah seni tradisional rakyat Aceh yang berupa tarian atau nyanyian. Pertunjukan dilakukan oleh sembilan atau sepuluh orang pemuda dengan memukul-mukulkan telapak tangan ke bagian dada. Dalam seudati pemain juga menyanyikan lagu-lagu tertentu yang isinya berupa selawat pujian kepada nabi. Di unduh dari KitabUsana Bali (tentang kekacauan Bali akibat keganasan Maya Dawana. 8. Kitab Pamancangah 9. Kitab Penggelaran 10. Kitab Calon Arang sebagai Mahapatih danpada saat pelantikan Gajah Mada mewngucapkan sumpah yang terkenal dengan "Sumpah Palapa" yang berisi tekad untuk mempersatukan tekad untuk mempersatukan nusantara.

Mahasiswa/Alumni Universitas Indraprasta PGRI09 Juni 2022 0122Jawaban yang tepat adalah yang E. Untuk lebih jelasnya, yuk pahami penjelasan berikut. Nama Arya Damar ditemukan dalam Kitab Usana Bali sebagai penguasa bawahan di Palembang yang membantu Majapahit menaklukkan Bali pada tahun 1343. Arya Damar memimpin prajurit menyerang Bali dari arah utara, sedangkan Gajah Mada menyerang dari selatan dengan jumlah prajurit yang sama. Dengan demikian, jawaban yang tepat adalah E. Usana Bali Semoga membantu ya

Dikarangoleh resi wiyasa huruf Pallawa bahasa Sanskerta semoga membantu dan jadikan jawaban yg terbaik yaa ^_^
๏ปฟKerajaan Bali Kuno merupakan salah satu bagian dari sejarah kehidupan masyarakat Bali secara keseluruhan. Bagian pemerintahan kerajaan di Bali juga beberapa kali berganti mengingat pada masa itu terjadi banyak pertikaian antara kerajaan yang memperebutkan daerah kekuasaan mereka. Dapat dipastikan bahwa Pulau Bali pada masa kerajaan Bali Kuno tidak pernah dikuasai secara utuh oleh satu dinasti, silih berganti dan dalam kurun yang berbeda. 1. Shri Keshari Warmadewa. Di dalam kitab kuno Raja Purana, tersebutlah seorang raja di Bali yang bernama Shri Wira Dhalem Kesari yang mendirikan kerajaan di lingkungan Pura Besakih, beliau amat tekun memuja dewa yang berkayangan di gunung Agung, tempat pemujaan beliau diberi nama Merajan Selonding. Tidak hanya tekun memuja, beliau juga memperbesar dan memperluas Pura Penataran Agung di Besakih yang sebelumnya masih sangat sederhana. Untuk melengkapinya, maka didirikan beberapa buah Pura di sekitar Pura penataran Agung Besakih, antara lain Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, Pura Ulun Kukul, Pura Batu Madeg, Pura Manik Mas, Pura Basukihan, Pura Pucak, Pura Pangubengan, Pura Tirtha dan Pura Dhalem Puri. Selanjutnya beliau juga mendirikan 6 Pura yang disebut Sad Khayangan, antara lain Pura Penataran Agung di lereng gunung Agung, Pura Bukit Gamongan di lereng gunung Lempuyang, Pura Batukaru di lereng gunung Batukaru, Pura Uluwatu di Bukit Badung, Pura Er Jeruk di sebelah selatan Sukawati, Pura Penataran Sasih di desa Pejeng. Selama masa pemerintahan raja Shri Keshari Warmadewa beberapa peraturan dibuat yang merupakan undang-undang ditulis dalam lempengan tembaga yang disebut dengan prasasti kemudian disimpan di pura-pura. Diantara prasasti itu ada yang menyangkut kewajiban tiap-tiap desa untuk memelihara pura, ketentuan pembayaran pajak, peraturan di pantai apabila ada perahu berlabuh, peraturan tentang waris, ijin para Bhiku untuk mendirikan Satra atau Pesangrahan, larangan merabas hutan pada tempat baginda berburu, ketentuan perbatasan pada tiap desa agar jangan sampai timbul perselisihan, dan banyak lagi peraturan yang lainya. Pada masa itu telah banyak pula terdapat ahli diantaranya, ahli pembuat perahu disebut Undagi Lancing, ahli menbuat bangunan disebut Undagi Batu dan ahli membuat terowongan disebut Undagi Pangarung. Diperkirakan pada masa itu telah terjadi hubungan yang baik dengan kerajaan lain diluar negeri. Pura Blanjong di desa Sanur Badung, dapat memberikan kita pandangan lebih dalam, Blanjong berasal dari 2 kata yakni; Belahan dan Jung atau Jong, belahan berarti pecah dan Jong berarti perahu. Di Pura itu terdapat dua buah batu besar yang kedua belah mukanya terdapat tulisan kuno, sebagian mempergunakan bahasa Bali Kuno dan sebagian lagi mempergunakan bahasa Sanskerta, tulisan itu menyebutkan nama seorang raja yaitu Kesari Warma Dewa, bersinggasana di Singhadwala. Tersebut juga dalam tulisan, bilangan tahun Isaka dengan mempergunakan tahun Candra Sangkala yang berbunyi Kecara Wahni Murti. beberapa ahli sejarah yang membaca dengan bunyi Sara Wahni Murti yang berarti 835 isaka atau 913 Masehi. Dapat dipastikan kemudian bahwa Shri Wira Dhalem Kesari, adalah Shri Kesari Warmadewa yang mendirikan kerajaan Singhadwala Prasasti Blanjong Sanur atau Singha Mandawa, terletak di lingkungan desa Besakih yang memerintah sekitar tahun 882 sampai 914 Masehi, seperti tersebut dalam prasasti yang hingga kini tersimpan di desa Sukawana, Bebetin, Trunyan, Bangli, di Pura Kehen, Gobleg dan Angseri. Gelar Warmadewa yang disandang memastikan beliau berasal dari keturunan Sailendra di Shriwijaya Palembang, yang datang ke Bali untuk mengembangkan agama Budha Mahayana. 2. Shri Ugrasena Setelah pemerintahan Shri Keshari Warmadewa berakhir, Shri Ugrasena memerintah di Bali, walaupun beliau tidak memakai gelar Warmadewa tetapi bisa dipastikan, beliau adalah putra dari raja Shri Keshari Warmadewa, hal itu tersebut di dalam prasasti yang dibuat pada waktu beliau memerintah yakni dari tahun 915 sampai dengan 942 Masehi, dengan pusat pemerintahan tetap di Singha Mandawa yang terletak disekitar desa Besakih. Didalam prasasti Srokadan jelas tersebut bahwa Shri Ugrasena beristana di Singha Mandawa, dalam tahun 915. prasasti Srokadan juga mempergunakan bahasa Bali kuno. Selain prasasti Srokadan, banyak lagi prasasti yang dibuat Shri Ugrasena, prasasti-prasasti itu kini tesimpan di desa Babahan, Sambiran, Pengotan, Batunya dekat danau Beratan, Dausa, Serai Kintamani, dan di desa Gobleg, akan tetapi tidaklah banyak beliau mengadakan perubahan pada pemerintahannya, hanya dibidang pertukangan dan kesenian mendapat kemajuan, dengan adanya sebutan Pande Besi, Pande Mas, Pamukul atau tukang tabuh-tabuhan, Menjahit Kajang atau tukang tenun, dan mangnila yang artinya tukang celup. 3. Shri Tabanendra Warmadewa Raja Shri Tabanendra Warmadewa yang berkuasa di Bali adalah raja yang ketiga dari keturunan dinasti Warmadewa, merupakan putra dari Shri Ugrasena, yang mewarisi kerajaan Singha Mandawa, beliau beristri dari Jawa Timur bernama Shri Subhadri Dharmadewi. Salah seorang putri dari Mpu Sindok yang menguasai Jawa Timur. Didalam prasasti yang kini tersimpan di desa Manikliyu Kintamani, kecuali menyebutkan nama Shri Tabanendra warnadewa, dicantumkan pula nama raja putri, hal ini menandakan bahwa permaisuri beliau ikut bekuasa dalam pemerintahan dari tahun 943 sampai dengan 961 Masehi, dengan prasasti yang masih mengunakan bahasa Bali kuno. 4. Shri Candrabhaya Singha Warmadewa. Sebuah piagam menyebutkan bahwa pada tahun Isaka 884 atau 962 Masehi sasih Kapat bulan Oktober atau November, raja Shri Candrabhaya Warmadewa membangun pemandian Tirta Empul, dari piagam itu dapat dipastikan diantara tahun 962, bertahta di Bali seorang raja bergelar Shri Candrabhaya Singha Warmadewa, merupakan putra dari raja suami istri Shri Tabanendra Warmadewa dengan Shri Subhandrika Dharmadewi. Shri Djanusandhu Warmadewa Setelah Shri Candrabhaya Singha Warmadewa mangkat, maka pemerintahan di Bali dilanjutkan oleh Shri Janusandhu Warmadewa, permaisurinya berasal dari Jawa Timur bergelar Shri Wijaya Mahadewi. Selain memperbaiki Pura, juga perbaikan dibidang lain, banyak bantuan yang diperoleh dari Jawa Timur, sehingga dalam waktu singkat penduduk Bali telah merasa pulih dari kehancuran, serta meletakan dasar yang kuat bagi keturunan beliau selanjutnya. Beliau memerintah dari tahun 975 sampai dengan tahun 988 Masehi. 5. Gunapriya Dharmapatni dan Dharmodayana Warmadewa. Sebuah piagam batu bertulis yang berangka tahun 1007 Masehi menyebutkan bahwa seorang putri dari Jawa bernama Mahendradatha menikah dengan pangeran dari Bali bernama Udayana, piagam tersebut kini tersimpan di Calcuta India Timur, yang dipindahkan dari Jawa semasa pemerintahan Raffles, nama baginda suami istri itu lebih terkenal dengan sebutan Mahendradatha dan Udayana, tetapi didalam prasasti dan piagam yang dibuat pada waktu baginda berkuasa, baginda suami istri memakai gelar Gunapriya Dharmapatni dan Dharmodayana Warmadewa. Gelar tersebut adalah gelar resmi ketika dinobatkan menjadi raja yang berkuasa selama 23 tahun, dari tahun 988 sampai dengan 1011 Masehi. Dharmodayana Warmadewa adalah putra dari Shri Janusandu Warmadewa, sedangkan Gunapriya Dharmapatni adalah salah seorang putri dari Shri Makuta Wangsa Wardana yang menjadi raja di Jawa Timur. Didalam prasasti maupun piagam, nama putri selalu dituliskan terlebih dahulu, barulah nama raja Dharmodayana Warmadewa, seperti yang tertulis dalam prasasti yang kini masih tersimpan di desa Bebetin, Serai, Buahan, Batur, Sading, dan sebuah piagam batu bertulis terletak di gunung Panulisan. Perkawinan raja Gunapriya Dharmapatni dengan raja Dharmodhayana Warmadewa, banyak membawa pengaruh di Bali, perubahan itu terjadi didalam struktur pemerintahan, yang kemudian berpengaruh pula pada bidang kebudayaan. Semenjak itu dimulailah dipergunakan bahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi dalam pembuatan prasasti yang sebelumnya mempergunakan bahasa Bali kuno. Dari perkawinan itu lahirlah beberapa putra dan putri, salah seorang putranya bernama Airlangga, yang lahir pada tahun 991 Masehi. Sesudah berumur kurang dari 16 tahun Airlangga bertolak ke Jawa Timur, hendak dikawinkan dengan putri raja Shri Dharmawangsa, akan tetapi begitu Airlangga tiba di Jawa Timur, tiba-tiba kerajaan bakal mertuanya diserang oleh musuh hingga hancur. Ibu Airlangga, Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni, lebih dahulu mangkat, dibandingkan raja Udayana, raja putri Gunapriya mangkat tahun 1001 Masehi di desa Buruan didekat Kutri Gianyar. Untuk memuliakan beliau, diatas Bukit Dharma dibuat patung besar yang dikenal dengan nama Durga Mahisasuramardini, yaitu lukisan Durgha yang membunuh raksasa berwujud seekor kerbau, dari bentuk patungnya, disimpulkan beliau adalah penganut aliran Bherawa. Sementara raja Dharmodayana Warmadewa mangkat tahun 1011 Masehi dicandikan di Banyu Weka, sebagai lambang kebesaran beliau semasa hidupnya, maka didirikan sebuah patung Budha disamping patung Durga Mahisasuramardini yang menandakan bahwa beliau memeluk agama Budha Mahayana. 6. Shri Adnya Dewi dan Dharmawangsa Wardhana Upacara perabuan raja Dharmodayana Warmadewa terjadi pada tahun 1001 Masehi, mendapat penghormatan yang sangat besar dari seluruh lapisan masyarakat Bali, semua pembesar kerajaan, pemimpin agama Siwa Budha, para pemuka rakyat Bali aga turut hadir. Utusan dari Jawa hadir pula Mpu Bradah yang diiringi oleh beberapa pembesar lainnya sebagai wakil dari Shri Airlangga, selanjutnya pemerintahan dipegang oleh putri beliau yang bergelar Shri Adnyadewi, didampingi oleh Dharmawangsa Wardana. Prasasti yang menuliskan nama beliau tersimpan di desa Sembiran, yang diterbitkan pada sasih Katiga, penanggal ping nem tahun Saka 938 atau tahun 1016 Masehi. Pergantian pimpinan di Bali dari Dharmodayana Warmadewa kepada Ratu Adnyadewi mendapat tantangan dari luar, akan tetapi setelah pemerintahan dipegang oleh Shri Dharmowangsa Wardana Marakata Pangkaja Sthanotunggadewa, keamanan dan kemakmuran dapat tercipta kembali dengan baik, sehingga kesenian dan kebudayaan berkembang dengan suburnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa buah prasasti seperti prasasti Batuan, prasasti Buahan, prasasti desa Ujung, yang diterbitkan selama beliau berkusa. 7. Anak Wungsu Menjelang Tahun 1042 Masehi, Airlanga di Singasari mengalami kesulitan yang besar, beliau merasa sangat kawatir mengenai perkembangan kerajaan dengan sikap kedua putra beliau yang berebut untuk menjadi penguasa Singasari. Mpu Bradah dititahkan untuk pergi ke Bali, merundingkan pengangkatan salah seorang putra beliau untuk menggantikan raja Dharmawangsa Wardana yang tidak memiliki keturunan, kedatangan Mpu Bradah disambut dengan sangat baik oleh pemuka masyarakat, lebih-lebih Mpu Kuturan. Mpu Bradah menemui Mpu Kuturan yang merupakan saudaranya sendiri yang telah lama berasrama di Silayukti, Mpu Kuturan segera memanggil semua anggota badan penasehat kerajaan, untuk merundingkan pesan dari raja Airlangga. Selain angota badan penasehat tampak hadir pula pemimpin agama Siwa Budha, para senapati yang didampingi oleh para bawahanya, sehingga halaman asrama Silayukti menjadi penuh, dalam pertemuan itu telah diputuskan bahwa permintaan raja Airlangga tidak dapat dipenuhi. Penolakan tersebut berdasarkan pertimbangan adanya Anak Wungsu yang sudah cukup Dewasa untuk menjadi raja di Bali sebagai penerus dinasti Warmadewa. Demikian kegagalan Mpu Bradah pada tahun 1042 dalam pertemuan besar yang dilaksanakan di Silayukti. Airlangga telah mendengar laporan itu dan dapat pula membenarkan keinginan para pemimpin rakyat Bali, untuk menobatkan adik baginda Anak Wungsu. Airlangga kemudian membagi kerajaan menjadi 2, Kediri atau Panjalu dengan ibu kotanya di Daha dan kerajaan Jenggala atau Singasari dengan ibu kotanya di Kahuripan. Peristiwa itu terjadi tahun 1042 Masehi. Setelah pembagian dua kerajaan selesai, Airlangga meletakkan jabatanya, kemudian mengasingkan diri ke dalam hutan untuk bertapa di lereng gunung Pucangan, hingga akhir hidupnya pada tahun 1049 Masehi sebagai pertapa yang suci. Kebesaran nama Airlangga dilambangkan dengan sebuah patung yang berbentuk Garudha Mukha, berwujud Dewa Wisnu yang mengendarai burung garuda, melambangkan raja adalah seorang pemimpin yang prawira dalam membasmi kejahatan. Penobatan Anak Wungsu menjadi raja di Bali, hampir bersamaan dengan kemangkatan saudaranya di Jawa Timur sekitar tahun 1049 Masehi. Lebih dari 26 buah prasasti yang kini tersimpan di Bali, yang menyebutkan jamanya raja Anak Wungsu. Prasasti tersebut sebagian mempergunakan bahasa Bali kuno, kini tersimpan di desa Trunyan Bangli tahun 1049, Bebetin Buleleng tahun 1050, Dawan Klungkung tahun 1053, Sukawana Bangli tahun 1054, Batunya Buleleng tahun 1055, Sangsit Buleleng tahun 1058, Dausa Bangli tahun 1061, Sawan Belantih tahun 1065, Sembiran Buleleng tahun 1065, Serai Bangli tahun 1067, Pangootan Bangli tahun 1069, Manikliyu Bangli tidak bertahun, Pandak Bading tahun 1071, Klungkung tahun 1073 dan Sawan Buleleng tahun 1073. Juga diwujudkan dengan beberapa patung, diantaranya hingga kini masih tersimpan di Pura Pagulingan Pejeng, arca kembar di gunung Panulisan, melambangkan kebesaran raja anak Wungsu beserta permaisuri yang bergelar Bhatara mandul. 8. Shri Sakalendu atau Shri Suradhipa Setelah berakhirnya pemerintahan Anak Wungsu tahun 1077 Masehi, tersebutlah seorang raja putri yang berkuasa di Bali bergelar Shri Sakalendu Isana Gunadhrma Laksmidhara Wijayotunggadewi, tersebut dalam prasasti yang tersimpan di desa Pengotan, yang menunjukan angka tahun 1088 dan 1101, sedangkan prasasti yang disimpan di desa Sawan Belantih menunjukan tahun 1098 Masehi, seluruh prasasti tersebut sudah mempergunakan bahasa Jawa Kuno. Di pura Penataran Panglan desa Pejeng, terdapat dua bauh arca yang letaknya berdampingan, satu merupakan Hariti dan satu lagi merupakan Parwati, keduanya berangka tahun isaka 1013 atau 1091 Masehi. Hariti berarti Indra dan parwati berarti sakti Siwa. Kedua arca ini melambangkan kebesaran raja yang berkuasa di Bali yang memuliakan Indra dan Siwa. Demikian adanya ratu bertahta di Bali, sekitar tahun 1078 hingga tahun 1114, untuk mengantikan Anak Wungsu, tersebutlah seorang raja di Bali yang bergelar Shri Suradipa, tertulis dalam prasasti yang kini tersimpan di desa Gobleg Buleleng, menunjukan angka tahun 1115 Masehi Shri Suradipa merupakan keturunan dinasti Warmadewa, putra dari Shri Sakalendu Kirana Isana Gunadharma Laksmidhara Wijayotunggadewi. 9. Shri Jaya Sakti, Shri Jaya Kasunu, Shri Jaya Pangus Setelah Shri Suradipa mengakhiri masa pemerintahannya, tersebutlah nama raja berturut-turut Shri Jaya Sakti, Shri Jaya Kasunu, Shri Jaya Pangus, dari gelar yang dipergunakan, kemungkinan telah terjadi percampurn antara keturunan Warmadewa dengan keturunan Maharaja Jaya Sakti yang pernah memimpin perpindahan orang-orang Hindu di masa lampau ke Bali. Dari catatan yang tersebut dalam prasasti, dapatlah diketahui, bahwa Shri Jaya Sakti memerintah mulai tahun 1133 sampai dengan tahun 1150 Masehi. Prasasti tersebut kini terdapat di desa Manikliyu Kintamani, Buahan Kintamani, dan di desa Perasi Karangasem, selanjutnya pemerintahan dipegang oleh putra beliau yang bernama Jaya Kasunu, didalam pustaka kuno Raja Purana, Jaya Kasunu dan Catur Yuga, menerangkan bahwa raja Shri Jaya Kasunu yang menciptakan adanya hari raya Galungan dan Kuningan, yang jatuh setiap 210 hari sekali, dirayakan setiap Buda Kliwon Dunggulan, sementara Kuningan dirayakan setiap Saniscara Kliwon Kuningan, kedua hari raya tersebut hingga kini tetap dilaksanakan oleh masyarakat Bali. Sebuah pustaka kuno, Purana Tattwa, penerangkan pada tahun Isaka 1111 atau 1189 Masehi, datanglah 7 orang guru agama dari Jawa ke Bali, kedatangan mereka itu untuk merayakan upacara besar di Besakih atas undangan raja Shri Jaya Pangus. Ketujuh Mpu tersebut, Mpu Ketek, Mpu Kanandha, Mpu Wira Adnyana, Mpu Wita Dharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, dan Mpu Dangka. Ketujuh orang Mpu dari Jawa itu dikenal dengan nama Sapta Pandita, sebagai pemimpin upacara Eka Dasa Rudra di Besakih, yang merupakan upacara kesebelas kalinya. Selanjutnya diterangkan juga dalam kitab itu, bahwa raja Shri Jaya Pangus beristana di Pejang, dengan bukti adanya pura besar Pusering Jagat, yang berarti pula sebagai pusat dunia atau pusat kerajaan, diperkirakan beliau memerintah dari tahun 1177 sampai dengan 1199 Maseh 10. Dinasti Warmadewa Merosot Di Bali Bisa dipastikan bahwa raja-raja yang berkuasa di Bali pada masa itu berasal dari keturunan Warmadewa, yang disebut juga Dinasti Salonding. Dinasti ini berkuasa di Bali sejak akhir abad ke 9 atau sekitar tahun 882 Masehi, seperti yang termuat dalam Prasasti Sukawana, Bebetin, Trunyan, Kehen, Gobleg, dan Angseri. Dengan raja pertama Shri Kesari Warmadewa beristana di Singha Madhawa di lingkungan desa Besakih. Sesudah Shri Jaya Pangus, mengakhiri kekuasaanya tahun 1199 Masehi, maka tersebutlah seorang raja sebagai pengantinya, bergelar Shri Eka Jaya Lencana, termuat dalam prasasti yang hingga kini tersimpan di Kintamani, berangka tahun 1200 Masehi. Dipastikan Shri Eka Jaya Lencana adalah putra mahkota dari Shri Jaya Pangus, sedangkan gelar Lencana yang dipergunakan adalah mengambil dari klan ibunya yang berasal dari Kediri Jawa Timur. Akan tetapi dalam 4 tahun kemudian, tersebutlah dalam prasasti yang kini masih tersimpan di Pura Kehen Bangli, menyatakan antara lain bahwa pada waktu itu Shri Dhanadiraja beserta dengan permaisurinya berkuasa di Bali. Lebih jauh prasasti tersebut menerangkan bahwa adanya perayaan pada beberapa buah Pura, diantaranya Pura Hyang Ukir. Adanya prasasti yang berangka tahun 1204 Masehi itu menunjukan bahwa di Bali telah terjadi perpindahan kekuasaan dalam waktu yang singkat. Sebuah prasasti yang terdapat di desa Balian yang bertahun 1260 Masehi menyebutkan raja yang berkuasa di Bali bergelar Bhatara Parameswara Shri Hyangning Hyang Adi Dewa lencana, merupakan putra mahkota dari Shri Ekajaya Lencana, yang telah bertahta di kerajaan Bali sesudah masa pemerintahan raja Shri Dhanadiraja. Akan tetapi setelah kerajaan Singasari mengempur Bali tahun 1284, raja Bali yang ditundukan itu bergelar Shri Pujungan, yang beristana di Pejeng, rupanya Shri Pujungan pernah mengadakan perebutan kekuasaan dan berhasil mengulingkan raja Bhatara Parameswara Shri Hyangning Hyang Adi Dewa Lencana. Setelah Singasari berhasil menaklukan Shri Pujungan, pemerintahan dipegang oleh Kebo Parud dengan pangkat Raja Patih. Catatan mengenai adanya kekuasaan dibawah raja patih dibawah pimpinan Kebo Parud, termuat dalam prasasti yang bertahun 1296 Masehi yang kini tersimpan di desa Pengotan Bangli, dan sebuah lagi bertahun 1300 disimpan di Sukawana Bangli. Kehancuran kerajaan Singasari, dibawah pimpinan Shri Kerta Negara pada bulan Mei 1292, memberi kesempatan kepada keturunan Warmadewa, menyusun kembali kekuatan untuk mengulingkan kekuasaan Kebo Parud. Bangkitnya kekuasaan dibawah dinasti Warmadewa itui dinyatakan oleh 2 buah prasasti yang terdapat di desa Cempaga Buleleng masing-masing bertahun 1324, dan prasasti yang terdapat di desa Tumbu Karangasem bertahun 1325. Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa yang menjadi raja di Bali ketika itu Shri Maha Raja Shri Bhatara Mahaguru Dharmo Tungga Warmadewa. Di dalam kitab kuno Usana Bali dan Purana Tattwa, menuliskan pada suatu masa di Bali pernah bertahta raja suami istri yang bergelar Shri Masula-Masuli, yang bersaudara kandung yang lahir bersamaan dari kelapa di Pura Batu Madeng di Besakih, kerenanya beliau berdua kemudian disebut Dhalem Buncing. Para ahli sejarah menafsirkan bahwa baginda raja Shri Masula Masuli yang disebutkan dalam kitab Usana Bali dan Purana Tattwa adalah Shri Mahaguru beserta permaisurinya seperti tersebut dalam prasasti Tumbu Karangasem. Astasura Ratna Bhumi Banten. Sebuah relief di Pura Pusering Jagat yang dibuat pada masa Shri Jaya Pangus berisi lukisan kuno yang berbentuk mata panah dan orang, lukisan tersebut adalah bilangan Candra Sangkala, yang menunjukan tahun Isaka 1251 atau 1329 Masehi, saat dinobatkan seorang raja di Bali yang bergelar Shri Astasura Ratna Bhumi Banten, Shri Masula Masuli. Arca di Pura Tegeh Kori dan Gunung Panulisan, melambangkan raja yang berkuasa di tahun Isaka 1254 atau 1332 Masehi, seperti lukisan pada punggung arca tersebut bergambar mata, kapak, segara atau gunung, yang merupakan tahun Candra Sangkala. Sementara kitab kuno Usana Jawa, menerangkan bahwa raja tersebut bergelar Shri Gajah Wahana atau Shri Tapolung, beristana di Bedahulu. Tersebutlah seorang raja yang teramat saktinya, bergelar Shri Gajah Wahana, beristana di Bedahulu, beliau mempunyai 2 orang patih terkemuka Pasung Grigis berdiam di Tengkulak dan Kebo Iwa bertempat tinggal di desa Blahbatuh. Disebut sebagai Dhalem Bedahulu karena beliau tidak mau tunduk terhadap Majapahit, yang kala itu sedang jaya, bercita-cita mempersatukan Nusantara dengan sumpah Palapa dari Maha Patih Gajahmada. Mungkin karena sudah kehendak Hyang Widhi Wasa, Shri Gajah Wahana menjadi generasi terakhir dari Wangsa Warmadewa di Bali setelah kerajaan Bali ditaklukkan oleh Majapahit, sekaligus memulai babakan baru pemerintahan raja-raja Bali Majapahit, dari wangsa Kepakisan. Pada masa pemerintahan Wangsa Warmadewa atau Dinasti Dhalem Slonding dari tahun 913 Masehi hingga tahun 1265 Masehi, tidak dapat ditemukan data yang pasti tentang Pura Taman Sari Payangan, tetapi pada masa pemerintahan raja di Bedulu dan Tampaksiring dipastikan wilayah Payangan dan sekitarnya masih berupa hutan belantara dengan desa-desa kecil yang tersebar di beberapa pinggiran sungai yang melintasi Payangan hingga wilayah Ubud. Mereka terdiri dari keturunan pengikut Rsi Markandhya yang berhasil mempertahankan hidup dengan konsep hulu teben, dengan budaya Aga yang kental. Hal itu ditunjang dengan pusat-pusat pemerintahan yang cukup jauh dari Payangan dan pastinya pada masa itu sangat sulit untuk dilalui. Tekstur wilayah Bali tengah yang terdiri dari tebing dan hutan belantara turut serta secara tidak langsung menjaga peninggalan-peninggalan jaman Rsi Markandhya di Bali Tengah karena sedikit sekali tersentuh dengan unsur-unsur politik yang memanas pada masa pemerintahan Wangsa Warmadewa di Bali. Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada beberapa tempat pemujaan masyarakat Payangan kebanyakan diakibatkan oleh bencana alam, gempa, tanah longsor atau banjir.
PrasastiButak, yang berisi peristiwa keruntuhan Kerajaan singasari dan perjuangan raden wijaya untuk mendirikan kerajaan. Prasasti Kudadu, berisi kisah pertempuran pasukan Raden Wijaya melawan pasukan Kediri. Kitab Usana Jawa = penaklukan jawa; Kitab usana Bali = penaklukan bali oleh Gajah Mada; 2. Bidang Bangunan. Terdiri atas: Candi
78 Cakrawala Sejarah SMAMA Kelas XI Bahasa 4. Keadaan budaya dan kemajuan sastra pada masa Kerajaan Majapahit a. Kehidupan kebudayaan Perkembangan kebudayaan di Kerajaan Majapahit dapat diketahui dari peninggalan- peninggalan berupa candi. Candi-candi peninggalan Kerajaan Majapahit, antara lain, candi Panataran di Blitar, candi Tegalwangi dan Suranana di Pare Kediri, candi Sawentar di Blitar, candi Sumber Jati di Blitar, candi Tikus di Trowulan, dan pintu gerbang Trowulan di Mojokerto. b. Kehidupan sastra Zaman Majapahit menghasilkan banyak karya sastra. Periodisasi sastra masa Majapahit dibedakan menjadi dua, yaitu sastra zaman Majapahit awal dan sastra zaman Majapahit akhir. 1 Zaman Majapahit awal Karya sastra zaman Majapahit awal adalah kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca 1365, kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Tantular, kitab Kutaramanawa karangan Gajah Mada, kitab Kunjarakarna anonim, dan kitab Prathayajna anonim. a Kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca ditulis pada tahun 1365, yaitu pada zaman Raja Hayam Wuruk. Kitab ini sangat penting untuk menge- tahui keadaan Kerajaan Singasari pada zaman Ken Arok sampai zaman pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit. Negarakertagama merupakan catatan sejarah yang menguraikan secara terperinci kota Majapahit, wilayah jajahan, candi-candi, dan perja- lanan Hayam Wuruk ke hampir seluruh wilayah Jawa Timur. Di dalamnya juga ditulis mengenai tata pemerintahan, ibu kota, agama, serta upacara Sraddha upacara menghormati roh nenek moyang dengan mendatangi tempat-tempat leluhur yang dilakukan oleh Hayam Wuruk untuk menghormati roh nenek moyangnya, serta untuk penghormatan kepada nenek Gayatri. b Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular menceritakan Sutasoma, putra raja yang meninggalkan keduniawian dan mendalami agama Buddha. Ia rela mengorbankan diri demi keselamatan sesama. Bahkan seorang raksasa yang gemar makan manusia telah diinsafkan menjadi pemeluk agama Buddha. Dalam kitab ini, terdapat kalimat Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, yang artinya tidak ada agama yang mendua, melainkan satu, yakni Hindu- Buddha. Sumber Indonesia Indah, Aksara Gambar Prasasti Negarakertagama peninggalan Singasari di tahun 1273 Saka Di unduh dari Perkembangan Kebudayaan Masa Hindu-Buddha .... 79 c Kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Tantular menceritakan kisah Raja Arjunasasrabahu dan Patih Sumantri melawan raksasa Rahwana. d Kitab Kutaramanawa, ditulis oleh Gajah Mada. Kitab hukum ini disusun berdasarkan kitab hukum yang lebih tua, yakni Kutarasastra dan kitab hukum Manawasastra , yang kemudian disesuaikan dengan hukum adat pada masa itu. e Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui nama pengarangnya. f Kitab Parthayajna, tidak diketahui pengarangnya. 2 Zaman Majapahit akhir Karya sastra zaman Majapahit akhir ditulis dengan bahasa Jawa dalam bentuk tembang kidung dan gancaran prosa. Karya-karya sastra pada zaman ini adalah kitab Pararaton yang berisi tentang riwayat raja-raja Majapahit, kitab Sundayana berisi tentang Peristiwa Bubat, kitab Sorandaka menceritakan tentang Pemberontakan Sora di Lumajang, kitab Ranggalawe tentang Pemberontakan Ranggalawe dari Tuban, kitab Panji Wijayakrama berisi tentang riwayat Raden Wijaya, kitab Usana Jawa menceritakan tentang penaklukkan Bali oleh Gajah Mada, kitab Usana Bali mengisahkan tentang kekacauan Bali akibat keganasan Maya Danawa, kitab Pamancangah , kitab Panggelaran, kitab Calon Arang, kitab Korawasrama, Carita Parahyangan, Babhuksah, Tantri Kamandaka, dan Pancatantra. Berikut karya-karya sastra yang terpenting. a Kitab Pararaton menceritakan riwayat raja-raja Singasari dan Majapahit. Karena kitab ini terlalu banyak mengandung mitos, kebenaran isinya sekarang sering kali diabaikan. Sampai sekarang, pengarang kitab ini belum diketahui sehingga dianggap anonim. Kitab ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi riwayat Ken Arok dari lahir sampai menjadi raja, sedangkan bagian kedua berisi kisah sejarah Kerajaan Majapahit mulai dari Raden Wijaya, Jayanegara, pemberontakan Ronggolawe dan Sora, Perang Bubat, dan daftar nama raja-raja sesudah Hayam Wuruk. b Kitab Sundayana menceritakan Peristiwa Bubat. Penulisnya tidak dikenal. Kitab ini menceritakan tentang Perang Bubat antara Majapahit dan Pajajaran di Lapangan Bubat, Majapahit. Perang tersebut terjadi sewaktu Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja datang ke Majapahit untuk mengantarkan putrinya Dyah Pitaloka yang dipersunting Hayam Wuruk. Namun, setelah rombongan menginap di Bubat, Hayam Wuruk yang semula berniat mengambil Dyah Pitaloka sebagai permaisuri mengubah rencananya. Akibat pengaruh Gajah Mada, Hayam Wuruk hanya akan menjadikan Dyah Pitaloka sebagai selir. Hal ini mengundang kemarahaan Sri Baduga Maharaja dan terjadilah Perang Bubat. Sumber Indonesia Indah, Aksara Gambar Kitab Walandit, telah menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuno, ditemukan di Tengger, Jawa Timur Di unduh dari 80 Cakrawala Sejarah SMAMA Kelas XI Bahasa c Kitab Tantu Panggelaran tidak diketahui pengarangnya. Kitab ini menceritakan Batara Guru menugasi para dewa untuk mengisi Pulau Jawa dengan penduduk. Namun, pulau itu guncang sehingga para dewa kemudian memindahkan Gunung Mahameru di India ke Jawa. Dalam proses pemindahannya, beberapa bagian tercecer sepanjang Pulau Jawa sehingga menjadi deretan gunung. Akibatnya Gunung Mahameru diletakkan di ujung timur Pulau Jawa dengan nama Semeru, kemudian Dewa Wisnu menjadi raja pertama di pulau itu. d Kitab Sorandaka menceritakan Pemberontakan Sora kepada Raja Jayanegara karena tersinggung atas sikap raja yang akan mengambil istrinya. e Kitab Ranggalawe menceritakan Pemberontakan Ranggalawe terhadap Raja Majapahit pada masa Raden Wijaya karena menginginkan jabatan sebagai patih di Majapahit. f Kitab Calon Arang menceritakan seorang janda bernama Calon Arang dari desa Girah yang mempunyai anak bernama Ratna Manggali. Ratna Manggali sangat cantik, tetapi belum ada seorang pemuda pun yang melamarnya menjadi istri. Hal ini membuat gusar Calon Arang. Dengan ilmu hitamnya, ia menyebarkan tenung ke seluruh negeri Airlangga. Raja Airlangga kemudian meminta Bharada untuk mengatasi hal ini dengan mengawinkan muridnya, Mpu Bahula dengan Ratna Manggali. Mpu Bahula berhasil menemukan buku sakti Calon Arang dan meng- ambilnya. Akibatnya dalam pertarungan selanjutnya, Calon Arang dikalahkan. g Kitab Panjiwijayakrama menguraikan riwayat Raden Wijaya sampai menjadi raja. h Kitab Usana Jawa berisi penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar, pemindahan Kerajaan Majapahit ke Gelgel, dan penumpasan Raja Raksasa Maya Denawa. i Kitab Usana Bali berisi tentang kekacauan di Pulau Bali akibat keganasan Maya Denawa yang akhirnya dibunuh oleh dewa. j Kitab Pamancangah menceritakan para dewa agung, nenek moyang raja Kerajaan Gelgel di Bali. k Kitab Carita Parahyangan berbahasa Sunda, ditulis akhir abad ke-16, berisi kisah raja-raja Sunda sejak zaman Mataram. Kitab ini menyebut-nyebut Sanjaya, raja Mataram pertama yang merupakan anak Raja Sanna, raja Kerajaan Galuh. Sewaktu terjadi pemberontakan oleh Rahyang Purbasora, Raja Sanna beserta keluarga dibuang ke kaki Gunung Merapi. Akhirnya, Sanjaya berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora dan mengangkat dirinya sebagai raja. Kitab ini juga menceritakan kisah Perang Bubat. 5. Keadaan budaya dan kemajuan sastra pada masa Kerajaan Bali a. Kehidupan kebudayaan

Menuruturaian seuah kitab bernama "Usana Bali" , bahwa putusnya pulau Jawa dengan pulau Bali, adalah disebabkan kesaktian seorang Pendita bernama Mpu Sidhimantra. lantaran keberaniannya memenggal ekornya yang berisi batu permata. Mpu Sidhimantra menyesali perbuatan anaknya itu, seraya bermohon kepada sahabatnya itu supaya dosa anaknya

PrasastiButak (1294 M), yang berisi peristiwa-peristiwa keruntuhan Kerajaan Singasari dan perjuangan Raden Wijaya untuk mendirikan Kerajaan. Kitab Usana Jawa; Kitab Usana Bali; Dibidang bangunan Majapahit banyak meninggalkan budaya bangunan kuno, seperti candi. Candi-candi tersebut adalah sebagai berikut :
Ceritapenaklukan Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar terdapat dalam kitab a. Sutasoma b. Negarakertagama c. Pararaton d. Usana Jawa e. Usana Bali

BukuUsana Jawa usana Bali di Tokopedia โˆ™ Promo Pengguna Baru โˆ™ Cicilan 0% โˆ™ Kurir Instan.

KitabNahwu Sharaf dari Bali . Berisi uraian ilmu sharaf, asal usul kata dalam bahasa Arab. Awal teks: Bismillahi r-Rahmani r-rahim. Alhamdulillahi l-muta'ali hamduhu Akhir teks: wa kadza idrib wa'lam majtami wastakhrif. Tersimpan di: Format: Map: Subjects: Bahasa Arab > Tata bahasa. Lokasi; Deskripsi
.
  • 1hiif7trjw.pages.dev/954
  • 1hiif7trjw.pages.dev/115
  • 1hiif7trjw.pages.dev/561
  • 1hiif7trjw.pages.dev/950
  • 1hiif7trjw.pages.dev/969
  • 1hiif7trjw.pages.dev/933
  • 1hiif7trjw.pages.dev/560
  • 1hiif7trjw.pages.dev/924
  • 1hiif7trjw.pages.dev/614
  • 1hiif7trjw.pages.dev/902
  • 1hiif7trjw.pages.dev/439
  • 1hiif7trjw.pages.dev/941
  • 1hiif7trjw.pages.dev/345
  • 1hiif7trjw.pages.dev/498
  • 1hiif7trjw.pages.dev/96
  • kitab usana bali berisi